Kami Milenial Kami Siap Menyambut QR Standar

http://www.epo.org

Hontou ni arigato!

Kepada Bapak yang berdasi kuning. Tidak berkacamata. Yang bernama Masahiro Hara.

Juga kepada sahabat seperjuangannya, Motoaki Watabe. Yang berkacamata dan berdasi hijau.

Kami, kaum milenial, harus mengucapkan terima kasih kepada mereka. 

Mereka bekerja di Denzo Wave. Perusahaan Jepang. Yang kemudian lebih dikenal sebagai pemegang hak paten atas temuan hebatnya.

Dan itu wajar. Karena Denzo Wave yang menaunginya. 

Tahun 2014, mereka mendapat penghargaan European Inventor Award kategori Popular Prize. Ini piala Oscarnya para ilmuwan.

Setelah 9 tahun lamanya tidak ada pemenang dari Jepang, akhirnya Pak Hara Cum Suis yang pecah telor; menerima penghargaan.

Diantara 15 kandidat yang ada, karya Pak Hara dan rekan ini yang paling memukau publik. Saat voting, mereka dapat 30% suara.

Penemuan hebat apa sih dari Masahiro Hara? Hingga membuat dunia tercengang!

Bukan hanya tercengang, tapi dunia berubah wajah peradabannya karena temuan itu.

Apa itu?

QR Code.

Scan Me. Know Me

Bagaimana ceritanya sehingga dari QR Code menjadi lekat dengan kehidupan kita?

(Kita flash back sebentar, ya)

Sejak tahun 1960-an, ekonomi Jepang mulai menggeliat. Bertumbuh tinggi.

Aktifititas jual beli meningkat tajam. Di toko-toko. Di mana-mana.

Saat itu, untuk keperluan pendataan stok barang dan transaksi, semua dilakukan secara manual.

Aktifitas perdagangan tinggi. Omset meningkat. Tapi banyak pegawai yang mengeluh sakit; terkena Carpal Tunnel Syndrome. Cirinya, tangan jadi kebas, kesemutan, nyeri atau mati rasa. Ada syaraf ditangan yang tertekan. Akibat aktifitas tangan yang tidak biasa.

Hm, dicarilah solusi. Biar pekerjaan lebih ringan.

Maka dipakailah barcode. Kode batang. Yang berjejer panjang. Bisa menyimpan banyak data. Yang bacanya harus memakai mesin pemindai; barcode reader.

Barcode pertama kali ditemukan oleh Norman Joseph Woodland dan rekannya, Bernard Silver. Dipatenkan sejak tahun 1951. Dipakai dari dulu hingga kini.

Tapi…

Ada kelemahan di barcode ini. Kapasitas menyimpan informasinya terbatas. Hanya mampu menyimpan sebanyak 20 alphanumeric saja.

Padahal, masyarakat Jepang ingin barcode yang punya kapasitas lebih besar. Yang huruf Kanji dengan ribuan huruf itu pun bisa diakomodir.

Meluncurlah rikues itu ke Denzo Wave yang saat itu memang fokus mengembangkan mesin barcode reader.

Dari sini, proyek pengembangan penyimpanan data dimulai. Pak Masahiro yang tampil. Sebagai ketua tim. Dibantu Pak Watabe.

Trial and error dilakukan selama 1,5 tahun. Hingga pada 1994 Denzo Wave merilis ke publik.

Itulah QR Code. Berupa matrik yang disusun secara vertikal dan horizontal.

QR dari singkatan Quick Response. Karena bisa membaca data 10x lebih cepat dari barcode. Dan bisa menampung hingga 7000 alphanumeric. Termasuk huruf Kanji dan Kana.

Secara fisik, tampilan QR code lebih mungil dan ringkas. Untuk data yang sama, QR code bisa dicetak 10x lebih kecil dari barcode. Hingga mudah ditempel di tempat yang lebih sempit, misalnya sparepart dan microchip.

QR Code dan Gen Milenial

http://www.dreamstime.com

Pindai!
Pindai!
Pindai!

Jangan kaget. Sekarang kita ada di era;

Saat membayar tagihan belanja. Bukan dompet yang dibuka, tapi malah  smartphone-nya. Memindai QR code yang tersedia. Hingga uang pembayaran yang tersimpan di dompet digital meluncur ke akun penjualnya.

Makanya, dompet kami, generasi milenial, sekarang itu tipis-tipis. Bukan hanya karena suka jajan, tapi karena kami  nggak nyimpan uang cash dalam jumlah banyak.

Uang-uang kami tersimpan di dompet digital. Entah yang bernama Gopay, OVO, DANA, BCA Sakuku atau yang sejenisnya.

Saat pengen beli camilan di Alfamart, kami cukup bayar lewat Gopay. Tinggal memindai QR Code yang ada di meja kasir, lunas sudah.

Jika haus terasa dan ingin beli minuman di pinggir jalan, cukup scan QR Code OVO yang ada di gerobak penjualnya, beres!

Mudah sekali, ya.

Itulah kami.

Kami inginnya transaksi dilakukan dengan cepat dan nyaman. Tidak perlu berdiri lama hanya untuk menunggu uang kembalian.

Meski nggak bawa dompet, asalkan  smartphone ditangan, aman.

Saking pentingnya smartphone, kami kasih quote a la milenial;

Tanpamu aku masih bisa bahagia.
Tanpa smartphone, aku bisa apa?

Fact:

59% generasi milenial memilih membayar dengan non tunai. 50% diantaranya memakai debit, 33% memakai e-money dan 17% menggunakan Credit Card.
Sumber: brilio.net

Iyes! Data diatas cocok dengan yang kami alami. Alasannya, membayar dengan non tunai lebih cepat dan nyaman.

Jumlah kami, generasi milenial,  mencapai sepertiga dari seluruh rakyat Indonesia.

Dari sudut pandang ekonomi, ini potensi ekonomi yang besar.

Makanya, banyak perusahaan yang ingin ikut terjun ke bisnis penyedia aplikasi pembayaran non tunai. 

Setelah kehadiran OVO, Go Pay, DANA dan kawan-kawan, pasti masih banyak calon pemain yang akan memasuki market ini.

Then…The problem is…

Misalnya di Alfamart.

Jika satu penyedia aplikasi pembayaran digital menyediakan 1 QR Code di meja kasir. Terus ada 8 penyedia aplikasi. Maka ada 8 QR Code yang berjejer di meja kasir.

Lha, kalau meja kasir dipenuhi QR Code beraneka rupa, terus Kinder Joy dan Bubble Gum diletakkan dimana?

Itu hanya contoh receh dari tidak efektifnya QR Code yang beraneka warna.

Maka, Bank Indonesia turun tangan. 

Dibuatlah regulasi baru: Semua pembayaran digital memakai QR Code yang terstandar.

Regulasi itu bernama QRIS. Kepanjangannya Quick Response Indonesia Standar.

QRIS hadir supaya sistem pembayaran digital tidak terfragmentasi. Semua dibuat lebih efektif dengan biaya transaksi lebih kecil.

Jadi, apapun aplikasi pembayaran digitalnya, transaksinya diseleseikan dengan 1 QR code saja.

QRIS baru secara resmi diberlakukan pada Januari 2020. Dan nanti metode pembayarannya memakai Push Payment. Saat bertransaksi, kami cukup memindai QR Code yang disediakan oleh merchant.

Cara itu disebut juga Merchant Presented Mode. Singapura, India dan Kamboja juga sama dengan kita.

Ke-UNGGUL-an QRIS Kesukaan Milenial

Manfaat dari diberlakukannya QR Code sesuai dengan DNA kami yang inginnya ringkas, cepat dan nyaman.

Terangkum dalam singkatan kata UNGGUL, inilah beberapa manfaat yang kami suka dari QRIS: 

1. Bersifat Universal

Kami bisa memakainya saat melakukan transaksi baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

2. Untung

  • Merchant cukup menyediakan 1 QR Code. Tidak perlu banyak. Karena dengan QR Code semua sudah terakomodir. Satu untuk semua.
  • Merchant bisa menghemat dalam hal  investasi mesin EDC
  • Pengenaan tarif yang dikenakan saat transaksi memakai QRIS, besarnya bervariasi. Memakai metode MDR (Merchant Discount Rate), inilah besaran tarifnya: Penjualan biasa (0.7 %), transaksi di sektor pendidikan (0.6 %), pembelian BBM (0.4%). 
  • Besarnya tarif ini lebih kecil dari transaksi biasa seperti lewat CC, ATM atau lewat mesin EDC. Karena biaya yang dibebankan ke konsumen sebesar 3-5%.

3. Gampang

  • Dengan QRIS, jualan jadi lebih gampang. Tidak perlu bingung mencari uang receh.
  • Kami konsumen juga tidak gondok lagi  karena diberi permen sebagai ganti uang kembalian.
  • Merchant tidak perlu khawatir pembeli bayarnya pakai uang palsu. 

4. Langsung

Dengan QRIS, transaksi jadi semakin cepat. Tinggal scan QRIS, beres!.

Gampang dan menyenangkan, kan?

Kami gembira menyambut kehadiran QRIS. Excited rasanya. Karpet merah siap kami hamparkan.

Semangat Menuju Cashless Society. ☺

#QRStandarPembayaranDigitalAlaMilenial

Karpet Merah Untuk QRIS

Arigatou Gozaimasu!

Credit: http://www.epo.org

Kepada Bapak yang berdasi kuning itu. Yang tidak berkacamata. Kita, kaum milenial, harus berterima kasih kepadanya.

Beliau Masahiro Hara. Dari Denzo Wave. Perusahaan spare part otomotif di Jepang.

Tahun 2014, sebagai ketua tim, Pak Hara mendapat penghargaan dari European Inventor Award. Ini piala Oscarnya untuk para ilmuwan.

Pak ini tidak sendiri. Untuk menemukan sebuah penemuan hebat. Ada beberapa anggota tim yang membantu. Termasuk Motoaki Watabe. Bapak berkacamata dan berdasi hijau. Juga harus berterima kasih

Di ajang yang dihelat European Patent Organisation (EPO) itu, Pak Hara menjadi ilmuwan Jepang pertama setelah 9 tahun tidak ada yang  yang menerima penghargaan.

Diantara 15 kandidat, temuan Pak Hara yang paling memukau publik. Makanya, beliau dapat suara 30% saat voting.

Sejak awal diciptakan hingga menerima penghargaan, ada rentang waktu 20 tahun.

Bisa jadi, saat menemukan ‘itu’, kalau waktunya ditarik ke jaman ini, beliau termasuk ‘generasi milenial’. Di usia antara 23-38.

Temuan yang awalnya untuk kepentingan domestik perusahaan, 25 tahun kemudian menjadi cara baru berkehidupan. Di seluruh dunia.

Karena begitu spektakulernya temuannya itu, saya bisa menyebut bahwa temuan Pak Hara mampu merubah wajah peradaban. Di seluruh dunia.

Temuannya apa, sih?

QR Code. Yang dengannya kita melakukan banyak hal menjadi lebih gampang.

QR Code singkatan dari Quick Response.

QR Code-ku. Bisa dipindai ☺

Milenial Masa Kini Koperasi Masa Lalu Dan Sepakbola Pemersatunya

Citra Koperasi

Souce: Instytut Gaussa / slideshare

Saya generasi milenial. Tapi saya tidak berminat sama yang namanya koperasi.

Saat kuliah dulu, dari beberapa pilihan mata kuliah pilihan (MKP) yang memungkinkan untuk diambil, saya mengambil koperasi.

Bukan karena cinta. Tapi karena pelajaran koperasi termasuk cincailah. Paling ya gitu gitu, aja. Jauh dari kata sulit dibanding Ekonometrika dan Statistik.

Pilihan yang asal-asalan tapi harapannya bisa mendongkrak nilai saya. 

Ladalah, kok ya saya malah sering bolos. Sudah jam kuliahnya siang habis dhuhur, dosennya sepuh dengan tempo bicara yang lambat dan volume suara yang lemah, menjadi ramuan pas yang melemahkan minat saya belajar tentang koperasi.

Asli, dimata saya, citra koperasi sungguh sangat tidak wow. Koperasi hanyalah produk masa lalu yang tidak punya daya pikat untuk dipelajari.

Sampai suatu ketika, chattingan dengan teman dari ITB menyadarkan saya.  Dalam diskusi kami, dia menyebutkan bahwa Ace Hardware yang gerainya dimana-mana itu adalah koperasi.

Bayern Munchen yang menjadi klub sepakbola elit dunia itu berbentuk koperasi.

Barcelona FC yang juga menjadi football club top dunia juga berbentuk koperasi.
Sunkist, es krim Campina adalah nama nama produk kelas kakap yang perusahaannya dikelola dengan prinsip-prinsip koperasi.

Wow! Saya merasa tercerahkan. Sejak saat itu saya tiba-tiba tertarik dengan yang namanya koperasi.

Saya tidak suka belajar tentang koperasi karena citra yang melekat pada dirinya. Koperasi hanyalah (sekedar) tempat untuk pinjam meminjam uang di kalangan masyarakat akar rumput. Dengan pemberian Sisa Hasil Usaha (SHU) yang jumlahnya begitu-begitu saja. Lembaga keuangan yang dikelola dengan cara ala kadarnya. Dengan para petugas yang sudah tua.

Seperti testimoni seorang netizen di akun instagramnya Gubernur Jawa Tengah saat diminta pendapatnya tentang koperasi:

“Koperasi itu sesuatu yang menakutkan bagiku. Karena begitu ada petugas koperasi datang, aku langsung mlayu”

See? Citranya tidak elok sekali, kan?

Rebranding Koperasi

Makin kesini saya makin paham bahwa koperasi menyimpan potensi untuk dikembangkan lebih besar lagi. Lebih keren dan kekinian. Demi mewujudkan kondisi ekonomi masyarakat yang lebih baik.

Dan sasaran umum yang bisa diandalkan untuk mengembangkan koperasi adalah kaum milenial, seperti saya ini. Dengan cara yang lebih kekinian.

If you want something new, you have to stop something old, kata Peter Drucker.

Kaum milenial di Indonesia, jumlah populasinya lebih dari sepertiga jumlah penduduk Indonesia.

Jadi, saat ingin membangkitkan keberadaan koperasi dengan cara menyatukannya dengan kaum milenial, saya rasa ini pilihan yang tepat.

Selain jumlahnya yang banyak, karena kaum milenial lebih mengerti tantangan kekinian yang harus dihadapi dan tahu caranya menyeleseikannya dengan cara yang smart!

Maka, untuk memupus citra buruk koperasi, harus dilakukan rebranding. Dan dari generasi milenial yang jadi penggeraknya.

Caranya?

1.  Sering-seringlah mengundang talent-talent milenial yang kreatif-kreatif. Mulai dari proses rebranding logo, slogan koperasi hingga konsep penerapan rebranding koperasi secara keseluruhan. Mengadakan sayembara pembuatan loga dan slogan koperasi yang kekinian, misalnya.

Salah satu ciri khas dari kaum milenial adalah hubungan eratnya dengan yang namanya IT dan start up. Maka, untuk membangkitkan koperasi, perlu dibentuk koperasi-koperasi dengan identitas start up. (Start Up Coop)

2.  Promosikan koperasi melalui bidang yang populer di masyarakat. Salah satu contoh konkretnya adalah klub sepak bola.

Di klub sepakbola elit bisa dilakukan penataan ulang (reorganizing) menjadi klub sepak bola berbentuk koperasi.

Misalnya klub sepak bola Liga Satu. Pengelolaan klub nya menggunakan cara a la koperasi bekerja. Undang partisipasi publik seluas-luasnya lewat media sosial.

Selain mengundang jadi anggota aktif koperasi, undangan ini juga bersifat promosi tentang koperasi.

Apapun berita tentang sepakbola bisa menjadi berita viral di media sosial. Saat klub klub sepakbola Liga Satu dibuat seperti koperasi dengan mengambil contoh Barcelona dan Bayern Munchen, maka publik pun akan semakin paham tentang koperasi dan segala kebaikan yang melingkupinya.

Percayalah, bagi kaum milenial, sepakbola masih jadi bahasan yang asyik untuk dijadikan media promosi. Termasuk tentang koperasi zaman now.